"Akhirnya liburan lagii.." seru ku riang.
Yana, teman kantor yang juga jadi teman ku liburan kali ini, ikut tersenyum senang juga. Ia sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya. Sedangkan aku berjalan setengah menyamping disebelahnya dengan menggeret satu koper kecil bergambar minion.
"Gw udah kontak ke hotel buat jemput kita di bandara jam 7." Ucap Yana setelah ia memasukkan ponselnya ke dalam tas selempang.
"Oke, sip. Gw juga udah siapin daftar tempat jalan malam ini. Jadi nanti kita bisa langsung jalan." Ucap ku semangat.
Bruk!!
Aku terhuyung ke belakang karena seseorang menabrak ku dan berlalu begitu saja. Beruntung Yana berhasil menahan lengan ku, jadi aku tidak sampai malu karena terjatuh.
"Gila tuh cowok, ga ada sopannya sama sekali! Berhenti sebentar buat minta maaf juga nggak." Ucap Yana dengan suara tingginya sambil menatap ke satu arah.
Aku ikut menatap ke arah yang sama, tapi tidak berkomentar apa-apa. Aku justru memperhatikan tubuh tinggi tegap seorang laki-laki yang berjalan menjauh dari tempat ku berdiri. Dia mengenakan celana bahan hitam dan kemeja hitam yang pas ditubuhnya, menampilkan lekukan ototnya yang membuat para wanita disekitarnya menatap penuh pujaan ke arahnya.
"Jangan terpesona sama model begitu, cewek polos! Dia nggak oke."
Aku meringis karena kening ku disentil oleh Yana. Ia mengambil alih koper minion miliknya dari tangan ku lalu melenggang masuk ke ruang tunggu.
"Ah, tungguin gw Yana!" Teriak ku sambil bergegas mengejar langkahnya yang lebar.
***
"Masih lama ya?" Tanya ku kesekian kalinya pada Yana yang asik memainkan ponsel.
"Pasang kuping baik-baik. Kalau ada pengumuman pesawat ke bali, berarti itu pesawat kita." Jawab Yana tanpa mengalihkan pandangannya.
Aku mengerucutkan bibir sebal. Bosan menunggu dan juga tidak sabar ingin segera jalan-jalan.
"Gw angkat telepon dari Angga dulu. Lo disini aja, jangan kemana-mana!"
Setelah mengatakan itu, Yana langsung menjauh tanpa menunggu persetujuan ku sama sekali. Dan hal itu semakin membuat ku mencebik kesal.
Aku memutar kepala, menatap beberapa penumpang yang juga sedang duduk menunggu. Ada satu keluarga yang duduk di pojok sebelah kiri. Beberapa kursi dari sana ada pasangan yang sedang mengobrol dengan mesra.
Pandangan ku terhenti saat melihat laki-laki yang mengenakan kemeja hitam duduk membelakangi ku. Dua temannya asik berbincang bahkan sesekali tawa keduanya terdengar nyaring. Tapi tidak dengan laki-laki berkemeja hitam itu. Ia hanya diam memperhatikan kedua temannya.
"Aneh.. kenapa gw malah penasaran sama dia ya..harusnya kan marah karena tadi dia nabrak gw tanpa minta maaf." gumam ku tanpa melepas pandangan dari sosok laki-laki tersebut.
Aku masih duduk diam saat laki-laki itu berdiri dari duduknya dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Laki-laki itu sepertinya bicara sesuatu karena salah satu temannya yang mengenakan kaos hitam polos tersenyum jahil sambil menatap ke arah ku.
"Adlina!!"
"Hah?"
Yana mendelik mendengar jawabanku. Ia berdiri dengan kedua tangan di pinggang. Lalu dengan kejamnya, Yana kembali menyentil kening ku, lebih kencang dari yang sebelumnya.
"Lo jadi mau jalan apa nggak? Itu yang lain udah pada antri masuk ke sana dan lo masih diem disini kayak patung selamat jalan."
"Eh.."
Aku yang masih setengah bingung, hanya menatap ke arah Yana lalu ke arah orang-orang yang mengantri dan kembali menatap Yana.
"Susah ngomong sama cewek polos kelewat blo'on kayak lo, Lin."
Yana menarik kopernya lalu berjalan ke arah antrian. Aku mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya berdiri mengikuti Yana sambil menggendong tas ransel ku.
***
Aku dan Yana harus naik bus lagi untuk menuju ke pesawat yang diparkir cukup jauh. Karena tak berhasil mendapat tempat duduk, aku dan Yana harus berdiri.
"Pfftt..."
Aku mendelik karena Yana masih berusaha menahan tawanya, bahkan wajah putihnya sampai memerah. Aku terpaksa berpegangan pada Yana karena tinggi ku yang masuk standar tinggi wanita indonesia, sedangkan bagian tengah bus tersebut memiliki desain tinggi.
"Jangan ketawa." Desis ku.
"Ternyata lo pendek ya. Hahaha,"
Yana akhirnya menyemburkan tawanya, membuat beberapa orang di sekitar kami menoleh dan menatap lucu ke arah ku.
"Yana!!" Geram ku lalu mencubit lengan kanan Yana dengan tangan kiri ku yang bebas.
Aku benar-benar malu karena ucapan Yana barusan. Wajah ku semakin memanas saat mata ku bersitatap dengan wanita tua yang duduk tak jauh dari tempat ku berdiri, menatap ku sambil tersenyum.
"Pegangan yang benar, nanti jatoh lho." Goda Yana lagi yang ku balas dengan pelototan sadis. Tapi sama sekali tak berhasil membuat Yana menghentikan tawanya.
***
"5a.. 6a.. ah gw disini, Yan!" Seru ku saat menemukan nomor tempat duduk ku.
Yana memutar bola matanya malas dan mulai memasukkan tasnya ke kabin.
"Kursi gw disini." Ucap Yana yang berdiri dua kursi tepat di depan kursi ku.
Aku mengangguk pada Yana, kemudian melepas tas ransel ku dan menaruhnya di kabin.
"Yang anteng lo duduk disitu. Jangan macam-macam!"
Aku mencebik kesal pada peringatan yang Yana berikan dengan nada jahil sebelum ia duduk.
"Reseh!" Gerutu ku pelan.
"Mau duduk nak?"
Aku menurunkan pandangan ku dan tersentak saat melihat laki-laki yang tadi ku perhatikan di ruang tunggu, sedang duduk manis di kursi dekat jendela. Sentuhan di lengan kanan ku membuat ku mengalihkan pandangan ke seorang nenek yang tadi bertanya.
"Ah, iya nek. Kursi saya di tengah itu." Jawab ku sedikit tak enak karena sempat mengabaikannya.
Nenek itu tersenyum lembut lalu beranjak dari kursinya, memberi jalan. Aku bergegas masuk dan duduk tenang. Begitupun dengan nenek tadi sebelum ia melempar senyum lembutnya sekali lagi padaku.
Tak lama kemudian pemberitahuan kalau pesawat akan segera lepas landas terdengar. Aku mengencangkan sabuk pengaman dan menutup mata dengan tangan saling bertautan.
"Just a moment and you'll be okay." Gumam ku lirih beberapa kali.
Aku kembali membuka mata saat pemberitahuan dari pilot kalau para penumpang sudah boleh melepas sabuk pengamannya. Napas lega ku hembuskan agak kencang sampai laki-laki disebelahku menoleh.
Dilihat dari jarak sedekat ini, aku akui kalau wajahnya masuk dalam kategori tampan. Namun ekspresinya terlalu datar, bahkan terkesan begitu dingin. Aku mencoba tersenyum ramah padanya. Tapi bukan membalas, laki-laki itu malah berpaling menatap ke luar jendela.
'What?! Sombong gila!! Ganteng tapi sombong, lempar aja harusnya dari sini!' Maki ku dalam hati.
Aku sempat mendengus kesal sebelum mengambil majalah yang tersedia dan membukanya kasar. Sengaja menunjukkan pada laki-laki ituu kalau aku kesal dengan sikapnya.
"Jangan terpesona sama model begitu, cewek polos! Dia nggak oke,"
Ucapan Yana di bandara tadi menggema di kepala ku. Membuat ku menggelengkan kepala keras-keras.
"Gw ga suka kok sama model begitu!" Ucap ku sambil menutup dan mengembalikan majalah yang ku pegang ke tempatnya.
Aku menoleh saat merasakan bahu laki-laki di sebelahku bergetar. Ia masih menatap ke luar jendela dengan tangan menopang dagu dan agak menutupi bibirnya.Tapi mata ku masih bisa melihat sudut bibirnya yang sedikit naik, seperti menahan tawa.
"Kalau mau ketawain gw, ya ketawa aja! Ga usah ditahan-tahan." Ucap ku sengit pada laki-laki itu.
Ia menoleh, menatap ku tajam dengan manik cokelat terangnya. Alisnya terangkat seolah mengejek ucapan yang ku lontarkan padanya.
"Apa?!" Ucapku menantang. Bahkan dagu ku sedikit terangkat tanpa aku sadari.
"Cewek aneh."
Nada datar yang di ucapkannya itu sontak membuat mata ku melebar kesal. Meskipun degup jantung ku sedikit lebih cepat karena suara rendahnya yang terdengar seksi.
"Dari pada ganteng tapi sombong."
Laki-laki itu mendelik mendengar ucapan ku. Tapi aku tak peduli dan beralih menatap ke arah lain. Berusaha untuk tidak terlibat lagi dengannya.
Sepuluh menit berlalu dan aku mulai bosan. Mata ku menatap ke luar jendela. Pemandangan yang sangat ku sukai terpampang jelas disana. Gumpalan awan putih yang bergerak pelan, langit biru cerah dan sinar oranye dari matahari sore yang mulai beranjak ke peraduannya.
Tatapan ku beralih ke wajah laki-laki disampingku yang sedikit tertunduk memainkan ponsel. Wajahnya bersih tanpa cela, dengan garis rahang tegas. Rambut hitamnya agak berantakan dibagian belakang dan beberapa helai jatuh menutupi dahinya. Sudut lancip matanya terlihat sempurna, ditambah dengan tahi lalat kecil tepat diatas kelopak matanya. Hidungnya mancung, bibirnya tipis dan berwarna cerah.
Aku tersenyum saat menyadari kalau laki-laki itu kemungkinan besar tidak merokok. Setidaknya ia termasuk orang yang bisa menjaga kesehatan paru-parunya dibalik wajah dinginnya itu.
Aku tersentak saat laki-laki itu menoleh tiba-tiba, menatap ku tajam dengan manik cokelat terangnya.
"Terpesona, eh?"
"Hah?"
Laki-laki itu tersenyum manis, kemudian beralih lagi pada ponselnya. Ia mengetikkan sesuatu disana kemudian memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Ia menggeser duduknya jadi menyamping. Tangannya bertopang di dagu dan kembali menatap ku, kali ini dengan seringai tipis.
"Silakan dilihat sepuasnya. Gratis."
Aku membelalak mendengar ucapan narsis keluar darinya. Senyum laki-laki itu melebar, sampai aku bisa melihat bulatan kecil di pipi kirinya. Tapi degup jantung ku justru semakin menggila.
"Pe.De. Yang diliat pemandangan disana." tunjukku ke arah jendela. Bersyukur suara yang ku keluarkan sama sekali tak terdengar gugup.
"Bukan kamu." Lanjutku lagi.
Laki-laki itu menoleh ke arah jendela, menganggukkan kepalanya lalu kembali menatapku.
"Memang bagus. Tapi sayangnya di dahi kamu itu ada tulisan kalau kamu terpesona dengan wajah tampan ku."
Kedua tanganku otomatis terangkat menutupi dahiku. Membuat laki-laki itu tertawa geli. Aku menurunkan tanganku cepat saat menyadari kebodohan tingkahku dan berusaha menahan malu dengan mendelik padanya.
"Asli ini polos banget. Tapi gw suka."
Aku mengernyit saat mendengar gumaman laki-laki itu disela tawanya, mencoba memahami maksud ucapannya tersebut.
"Mau tukar tempat duduk?"
Aku kembali mengalihkan perhatianku pada laki-laki itu dan menatapnya curiga. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi dingin. Ia menaikkan bahunya acuh dan kembali duduk menghadap ke depan saat aku tak kunjung menjawab.
Sontak tanganku menahan bahunya, mencegahnya untuk bergerak. Ia menatapku datar dengan pandangan bertanya tanpa mengatakan apapun.
"Uhm..boleh tukar tempat?" tanyaku agak takut karena raut wajah datarnya.
Laki-laki itu diam sejenak, sebelum akhirnya tersenyum dan berkata, "Kamu berdiri dulu kalau begitu."
Aku segera mengikuti ucapannya dan ia langsung bergeser duduk di kursi ku.
Baru saja aku ingin bergeser ke samping, tiba-tiba saja pesawat bergetar kencang. Membuatku kehilangan keseimbangan dan jatuh dipangkuan laki-laki itu. Tangan besarnya melingkar dipinggangku, seolah menjagaku agar tidak terjatuh.
Pengumuman tentang penjelasan insiden barusan sama sekali tak terdengar jelas ditelingaku. Mataku terpaku pada manik cokelat terang yang juga menatap ku dalam.
"Kalian baik-baik aja, nak?"
Suara nenek disamping kami, membuat kami tersadar. Aku segera bangkit dari pangkuannya dan duduk di kursi ku sendiri. Wajahku memanas menahan malu. Aku mendengar laki-laki itu berdeham sebelum menjawab pertanyaan nenek tersebut. Sementara aku hanya mengangguk dan melempar senyum tipis sebelum mengalihkan pandangan ke luar jendela.
"Kamu nggak apa-apa?"
Aku menoleh mendengar pertanyaan laki-laki tersebut. Tapi mataku menghindari wajahnya sambil menahan malu luar biasa karena insiden barusan.
"Eh.. i..iya.. Ma..maaf," jawabku gugup dan buru-buru menatap ke jendela lagi.
Setelah itu tak ada pembicaraan apapun diantara aku dengan laki-laki itu. Ia hanya sempat bicara sebentar saat mengoper makan sore yang diberikan dengan senyum dan tatapan hangat.
***
"Lin, lo tunggu disini sebentar ya. Gw mau cari Angga dulu."
Yana langsung berlari pergi begitu saja dengan ponsel menempel ditelinganya. Aku berdecak lalu duduk di salah satu kursi yang disediakan disana sambil mengaktifkan kembali ponselku.
Aku terlonjak kaget dan hampir berteriak saat seseorang menepuk pundakku keras.
"Kamu?!"
Aku menatap tak percaya kalau laki-laki yang tadi duduk disampingku selama di pesawat kini berdiri dihadapanku dengan napas tersengal. Ia berusaha menetralkan napasnya, tangan kanannya bertumpu di lutut sedangkan tangan kirinya masih dibahuku.
Ku sodorkan sebotol aqua padanya yang langsung ditegak sampai habis. Kemudian ia menarik napas panjang, menghembuskannya pelan lalu berdiri tegak dengan tangan kanannya terulur ke arahku.
"Aku Dimas. Boleh aku kenal lebih dekat sama kamu selama disini?"
Aku mengedip bingung, keningku mengerut dalam berusaha mencerna maksud ucapannya.
"Dia teman gw kok, Lin."
Suara Angga dari arah belakang ku membuatku lagi-lagi terlonjak kaget.
"Dan gw jamin kalau dia jinak dan nggak akan macem-macem seribu persen." Ucap Yana menimpali dengan tangan masih bergelayut manja pada Angga.
"Lho.. lo.. dia.." ucap ku tak karuan sambil menunjuk ke arah Yana dan Dimas bergantian.
Yana dan Angga terkekeh geli ketika aku melebarkan mataku saat tersadar kalau aku telah berhasil dijahili lagi oleh mereka berdua.
"Uhm.. jadi gimana? Diterima nggak ini?" tanya Dimas mengalihkan perhatianku dari Yana dan Angga.
Dimas masih mengulurkan tanganya padaku. Matanya penuh harap, seperti anak kecil yang menuggu hadiah dari ayahnya. Aku berteriak senang didalam hati karena melihat ekspresi baru di wajah tampan Dimas.
"Uhm..."
Aku sengaja menjeda ucapanku dan berusaha memasang wajah datar sebelum melanjutkannya dengan bahu terangkat acuh seperti yang Dimas lakukan padaku di pesawat tadi.
"Entahlah,"
"Hahahaha, Dimas ditolak!!!"
Suara nyaring laki-laki yang tadi kulihat bersama Dimas diruang tunggu terdengar. Dimas berdecak kesal dan berusaha menghindar karena temannya yang mengenakan jaket maroon menepuk-nepuk punggungnya terus menerus sambil tertawa mengejek. Sedangkan temannya yang mengenakan kaos hitam polos hanya menepuk bahu Dimas sekali sambil menganggukkan kepalanya perihatin sebelum berjalan mendekat ke arah ku.
"Hai, gw Andra dan yang pakai jaket disana itu Rendi. Temannya Dimas, si cowok malang." ucapnya dengan senyum hangat dan tangan terulur saat dihadapanku.
"Adlina." Jawabku sambil membalas senyum dan uluran tangannya.
"Andra!!" Teriak Dimas kesal.
Aku menoleh ke arah Dimas yang menatap ke arah ku dan Andra dengan wajah masam sambil berusaha menjauhkan Rendi yang kini sudah bergelayut manja pada lengannya.
Andra mengacuhkan teriakan Dimas, ia justru mendekat ke arah ku dan berbisik.
"Gw orang kedua yang berani jamin kalau Dimas itu seribu persen jinak."
Aku tersenyum lebar mendengar ucapan Andra, mengangguk dan berkata, "Dimas memang baik. Meskipun ekpresi juteknya nyebelin."
Andra tertawa geli lalu merangkul bahuku.
"ANDRA!! JANGAN PEGANG-PEGANG DIA!!!"
Aku tersentak mendengar teriakan Dimas yang benar-benar nyaring. Bahkan beberapa orang disekitar kami menoleh dan tersenyum geli. Aku agak menunduk malu, sedangkan Andra malah menoleh dan menjulurkan lidahnya jahil pada Dimas.
"Ayo jalan. Kita susul Yana sama Angga. Biarin aja duo homo dibelakang itu." ucap Andra.
"Aku senang kenal kalian semua. Kalian lucu, tapi.. uhm.. agak malu-maluin." Ucap ku jujur yang dibalas dengan kekehan Andra.
"Kalau begitu siapin diri untuk lebih malu lagi setelah ini."
Aku mendongak menatap Andra yang kembali menampilkan senyum jahilnya. Tapi tak dipungkiri kalau di dalam hati ku ada rasa bahagia yang membuncah karena bisa mengenal mereka bertiga. Rasa penasaran tentang bagaimana jadinya liburanku kali ini juga tak mampu menahan senyuman lebar di bibirku.
*end*
180113
Siska Damast
⚘⚘⚘