Selasa, 10 Juli 2018

⚘ DIMAS ⚘

"Akhirnya liburan lagii.." seru ku riang.

Yana, teman kantor yang juga jadi teman ku liburan kali ini, ikut tersenyum senang juga. Ia sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya. Sedangkan aku berjalan setengah menyamping disebelahnya dengan menggeret satu koper kecil bergambar minion.

"Gw udah kontak ke hotel buat jemput kita di bandara jam 7." Ucap Yana setelah ia memasukkan ponselnya ke dalam tas selempang.

"Oke, sip. Gw juga udah siapin daftar tempat jalan malam ini. Jadi nanti kita bisa langsung jalan." Ucap ku semangat.

Bruk!!

Aku terhuyung ke belakang karena seseorang menabrak ku dan berlalu begitu saja. Beruntung Yana berhasil menahan lengan ku, jadi aku tidak sampai malu karena terjatuh.

"Gila tuh cowok, ga ada sopannya sama sekali! Berhenti sebentar buat minta maaf juga nggak." Ucap Yana dengan suara tingginya sambil menatap ke satu arah.

Aku ikut menatap ke arah yang sama, tapi tidak berkomentar apa-apa. Aku justru memperhatikan tubuh tinggi tegap seorang laki-laki yang berjalan menjauh dari tempat ku berdiri. Dia mengenakan celana bahan hitam dan kemeja hitam yang pas ditubuhnya, menampilkan lekukan ototnya yang membuat para wanita disekitarnya menatap penuh pujaan ke arahnya.

"Jangan terpesona sama model begitu, cewek polos! Dia nggak oke."

Aku meringis karena kening ku disentil oleh Yana. Ia mengambil alih koper minion miliknya dari tangan ku lalu melenggang masuk ke ruang tunggu.

"Ah, tungguin gw Yana!" Teriak ku sambil bergegas mengejar langkahnya yang lebar.

***

"Masih lama ya?" Tanya ku kesekian kalinya pada Yana yang asik memainkan ponsel.

"Pasang kuping baik-baik. Kalau ada pengumuman pesawat ke bali, berarti itu pesawat kita." Jawab Yana tanpa mengalihkan pandangannya.

Aku mengerucutkan bibir sebal. Bosan menunggu dan juga tidak sabar ingin segera jalan-jalan.

"Gw angkat telepon dari Angga dulu. Lo disini aja, jangan kemana-mana!"

Setelah mengatakan itu, Yana langsung menjauh tanpa menunggu persetujuan ku sama sekali. Dan hal itu semakin membuat ku mencebik kesal.

Aku memutar kepala, menatap beberapa penumpang yang juga sedang duduk menunggu. Ada satu keluarga yang duduk di pojok sebelah kiri. Beberapa kursi dari sana ada pasangan yang sedang mengobrol dengan mesra.

Pandangan ku terhenti saat melihat laki-laki yang mengenakan kemeja hitam duduk membelakangi ku. Dua temannya asik berbincang bahkan sesekali tawa keduanya terdengar nyaring. Tapi tidak dengan laki-laki berkemeja hitam itu. Ia hanya diam memperhatikan kedua temannya.

"Aneh.. kenapa gw malah penasaran sama dia ya..harusnya kan marah karena tadi dia nabrak gw tanpa minta maaf." gumam ku tanpa melepas pandangan dari sosok laki-laki tersebut.

Aku masih duduk diam saat laki-laki itu berdiri dari duduknya dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Laki-laki itu sepertinya bicara sesuatu karena salah satu temannya yang mengenakan kaos hitam polos tersenyum jahil sambil menatap ke arah ku.

"Adlina!!"

"Hah?"

Yana mendelik mendengar jawabanku. Ia berdiri dengan kedua tangan di pinggang. Lalu dengan kejamnya, Yana kembali menyentil kening ku, lebih kencang dari yang sebelumnya.

"Lo jadi mau jalan apa nggak? Itu yang lain udah pada antri masuk ke sana dan lo masih diem disini kayak patung selamat jalan."

"Eh.."

Aku yang masih setengah bingung, hanya menatap ke arah Yana lalu ke arah orang-orang yang mengantri dan kembali menatap Yana.

"Susah ngomong sama cewek polos kelewat blo'on kayak lo, Lin."

Yana menarik kopernya lalu berjalan ke arah antrian. Aku mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya berdiri mengikuti Yana sambil menggendong tas ransel ku.

***

Aku dan Yana harus naik bus lagi untuk menuju ke pesawat yang diparkir cukup jauh. Karena tak berhasil mendapat tempat duduk, aku dan Yana harus berdiri.

"Pfftt..."

Aku mendelik karena Yana masih berusaha menahan tawanya, bahkan wajah putihnya sampai memerah. Aku terpaksa berpegangan pada Yana karena tinggi ku yang masuk standar tinggi wanita indonesia, sedangkan bagian tengah bus tersebut memiliki desain tinggi.

"Jangan ketawa." Desis ku.

"Ternyata lo pendek ya. Hahaha,"

Yana akhirnya menyemburkan tawanya, membuat beberapa orang di sekitar kami menoleh dan menatap lucu ke arah ku.

"Yana!!" Geram ku lalu mencubit lengan kanan Yana dengan tangan kiri ku yang bebas.

Aku benar-benar malu karena ucapan Yana barusan. Wajah ku semakin memanas saat mata ku bersitatap dengan wanita tua yang duduk tak jauh dari tempat ku berdiri, menatap ku sambil tersenyum.

"Pegangan yang benar, nanti jatoh lho." Goda Yana lagi yang ku balas dengan pelototan sadis. Tapi sama sekali tak berhasil membuat Yana menghentikan tawanya.

***

"5a.. 6a.. ah gw disini, Yan!" Seru ku saat menemukan nomor tempat duduk ku.

Yana memutar bola matanya malas dan mulai memasukkan tasnya ke kabin.

"Kursi gw disini." Ucap Yana yang berdiri dua kursi tepat di depan kursi ku.

Aku mengangguk pada Yana, kemudian melepas tas ransel ku dan menaruhnya di kabin.

"Yang anteng lo duduk disitu. Jangan macam-macam!"

Aku mencebik kesal pada peringatan yang Yana berikan dengan nada jahil sebelum ia duduk.

"Reseh!" Gerutu ku pelan.

"Mau duduk nak?"

Aku menurunkan pandangan ku dan tersentak saat melihat laki-laki yang tadi ku perhatikan di ruang tunggu, sedang duduk manis di kursi dekat jendela. Sentuhan di lengan kanan ku membuat ku mengalihkan pandangan ke seorang nenek yang tadi bertanya.

"Ah, iya nek. Kursi saya di tengah itu." Jawab ku sedikit tak enak karena sempat mengabaikannya.

Nenek itu tersenyum lembut lalu beranjak dari kursinya, memberi jalan. Aku bergegas masuk dan duduk tenang. Begitupun dengan nenek tadi sebelum ia melempar senyum lembutnya sekali lagi padaku.

Tak lama kemudian pemberitahuan kalau pesawat akan segera lepas landas terdengar. Aku mengencangkan sabuk pengaman dan menutup mata dengan tangan saling bertautan.

"Just a moment and you'll be okay." Gumam ku lirih beberapa kali.

Aku kembali membuka mata saat pemberitahuan dari pilot kalau para penumpang sudah boleh melepas sabuk pengamannya. Napas lega ku hembuskan agak kencang sampai laki-laki disebelahku menoleh.

Dilihat dari jarak sedekat ini, aku akui kalau wajahnya masuk dalam kategori tampan. Namun ekspresinya terlalu datar, bahkan terkesan begitu dingin. Aku mencoba tersenyum ramah padanya. Tapi bukan membalas, laki-laki itu malah berpaling menatap ke luar jendela.

'What?! Sombong gila!! Ganteng tapi sombong, lempar aja harusnya dari sini!' Maki ku dalam hati.

Aku sempat mendengus kesal sebelum mengambil majalah yang tersedia dan membukanya kasar. Sengaja menunjukkan pada laki-laki ituu kalau aku kesal dengan sikapnya.

"Jangan terpesona sama model begitu, cewek polos! Dia nggak oke,"

Ucapan Yana di bandara tadi menggema di kepala ku. Membuat ku menggelengkan kepala keras-keras.

"Gw ga suka kok sama model begitu!" Ucap ku sambil menutup dan mengembalikan majalah yang ku pegang ke tempatnya.

Aku menoleh saat merasakan bahu laki-laki di sebelahku bergetar. Ia masih menatap ke luar jendela dengan tangan menopang dagu dan agak menutupi bibirnya.Tapi mata ku masih bisa melihat sudut bibirnya yang sedikit naik, seperti menahan tawa.

"Kalau mau ketawain gw, ya ketawa aja! Ga usah ditahan-tahan." Ucap ku sengit pada laki-laki itu.

Ia menoleh, menatap ku tajam dengan manik cokelat terangnya. Alisnya terangkat seolah mengejek ucapan yang ku lontarkan padanya.

"Apa?!" Ucapku menantang. Bahkan dagu ku sedikit terangkat tanpa aku sadari.

"Cewek aneh."

Nada datar yang di ucapkannya itu sontak membuat mata ku melebar kesal. Meskipun degup jantung ku sedikit lebih cepat karena suara rendahnya yang terdengar seksi.

"Dari pada ganteng tapi sombong."

Laki-laki itu mendelik mendengar ucapan ku. Tapi aku tak peduli dan beralih menatap ke arah lain. Berusaha untuk tidak terlibat lagi dengannya.

Sepuluh menit berlalu dan aku mulai bosan. Mata ku menatap ke luar jendela. Pemandangan yang sangat ku sukai terpampang jelas disana. Gumpalan awan putih yang bergerak pelan, langit biru cerah dan sinar oranye dari matahari sore yang mulai beranjak ke peraduannya.

Tatapan ku beralih ke wajah laki-laki disampingku yang sedikit tertunduk memainkan ponsel. Wajahnya bersih tanpa cela, dengan garis rahang tegas. Rambut hitamnya agak berantakan dibagian belakang dan beberapa helai jatuh menutupi dahinya. Sudut lancip matanya terlihat sempurna, ditambah dengan tahi lalat kecil tepat diatas kelopak matanya. Hidungnya mancung, bibirnya tipis dan berwarna cerah.

Aku tersenyum saat menyadari kalau laki-laki itu kemungkinan besar tidak merokok. Setidaknya ia termasuk orang yang bisa menjaga kesehatan paru-parunya dibalik wajah dinginnya itu.

Aku tersentak saat laki-laki itu menoleh tiba-tiba, menatap ku tajam dengan manik cokelat terangnya.

"Terpesona, eh?"

"Hah?"

Laki-laki itu tersenyum manis, kemudian beralih lagi pada ponselnya. Ia mengetikkan sesuatu disana kemudian memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Ia menggeser duduknya jadi menyamping. Tangannya bertopang di dagu dan kembali menatap ku, kali ini dengan seringai tipis.

"Silakan dilihat sepuasnya. Gratis."

Aku membelalak mendengar ucapan narsis keluar darinya. Senyum laki-laki itu melebar, sampai aku bisa melihat bulatan kecil di pipi kirinya. Tapi degup jantung ku justru semakin menggila.

"Pe.De. Yang diliat pemandangan disana." tunjukku ke arah jendela. Bersyukur suara yang ku keluarkan sama sekali tak terdengar gugup.

"Bukan kamu." Lanjutku lagi.

Laki-laki itu menoleh ke arah jendela, menganggukkan kepalanya lalu kembali menatapku.

"Memang bagus. Tapi sayangnya di dahi kamu itu ada tulisan kalau kamu terpesona dengan wajah tampan ku."

Kedua tanganku otomatis terangkat menutupi dahiku. Membuat laki-laki itu tertawa geli. Aku menurunkan tanganku cepat saat menyadari kebodohan tingkahku dan berusaha menahan malu dengan mendelik padanya.

"Asli ini polos banget. Tapi gw suka."

Aku mengernyit saat mendengar gumaman laki-laki itu disela tawanya, mencoba memahami maksud ucapannya tersebut.

"Mau tukar tempat duduk?"

Aku kembali mengalihkan perhatianku pada laki-laki itu dan menatapnya curiga. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi dingin. Ia menaikkan bahunya acuh dan kembali duduk menghadap ke depan saat aku tak kunjung menjawab.

Sontak tanganku menahan bahunya, mencegahnya untuk bergerak. Ia menatapku datar dengan pandangan bertanya tanpa mengatakan apapun.

"Uhm..boleh tukar tempat?" tanyaku agak takut karena raut wajah datarnya.

Laki-laki itu diam sejenak, sebelum akhirnya tersenyum dan berkata, "Kamu berdiri dulu kalau begitu."

Aku segera mengikuti ucapannya dan ia langsung bergeser duduk di kursi ku.

Baru saja aku ingin bergeser ke samping, tiba-tiba saja pesawat bergetar kencang. Membuatku kehilangan keseimbangan dan jatuh dipangkuan laki-laki itu. Tangan besarnya melingkar dipinggangku, seolah menjagaku agar tidak terjatuh.

Pengumuman tentang penjelasan insiden barusan sama sekali tak terdengar jelas ditelingaku. Mataku terpaku pada manik cokelat terang yang juga menatap ku dalam.

"Kalian baik-baik aja, nak?"

Suara nenek disamping kami, membuat kami tersadar. Aku segera bangkit dari pangkuannya dan duduk di kursi ku sendiri. Wajahku memanas menahan malu. Aku mendengar laki-laki itu berdeham sebelum menjawab pertanyaan nenek tersebut. Sementara aku hanya mengangguk dan melempar senyum tipis sebelum mengalihkan pandangan ke luar jendela.

"Kamu nggak apa-apa?"

Aku menoleh mendengar pertanyaan laki-laki tersebut. Tapi mataku menghindari wajahnya sambil menahan malu luar biasa karena insiden barusan.

"Eh.. i..iya.. Ma..maaf," jawabku gugup dan buru-buru menatap ke jendela lagi.

Setelah itu tak ada pembicaraan apapun diantara aku dengan laki-laki itu. Ia hanya sempat bicara sebentar saat mengoper makan sore yang diberikan dengan senyum dan tatapan hangat.

***

"Lin, lo tunggu disini sebentar ya. Gw mau cari Angga dulu."

Yana langsung berlari pergi begitu saja dengan ponsel menempel ditelinganya. Aku berdecak lalu duduk di salah satu kursi yang disediakan disana sambil mengaktifkan kembali ponselku.

Aku terlonjak kaget dan hampir berteriak saat seseorang menepuk pundakku keras.

"Kamu?!"

Aku menatap tak percaya kalau laki-laki yang tadi duduk disampingku selama di pesawat kini berdiri dihadapanku dengan napas tersengal. Ia berusaha menetralkan napasnya, tangan kanannya bertumpu di lutut sedangkan tangan kirinya masih dibahuku.

Ku sodorkan sebotol aqua padanya yang langsung ditegak sampai habis. Kemudian ia menarik napas panjang, menghembuskannya pelan lalu berdiri tegak dengan tangan kanannya terulur ke arahku.

"Aku Dimas. Boleh aku kenal lebih dekat sama kamu selama disini?"

Aku mengedip bingung, keningku mengerut dalam berusaha mencerna maksud ucapannya.

"Dia teman gw kok, Lin."

Suara Angga dari arah belakang ku membuatku lagi-lagi terlonjak kaget.

"Dan gw jamin kalau dia jinak dan nggak akan macem-macem seribu persen." Ucap Yana menimpali dengan tangan masih bergelayut manja pada Angga.

"Lho.. lo.. dia.." ucap ku tak karuan sambil menunjuk ke arah Yana dan Dimas bergantian.

Yana dan Angga terkekeh geli ketika aku melebarkan mataku saat tersadar kalau aku telah berhasil dijahili lagi oleh mereka berdua.

"Uhm.. jadi gimana? Diterima nggak ini?" tanya Dimas mengalihkan perhatianku dari Yana dan Angga.

Dimas masih mengulurkan tanganya padaku. Matanya penuh harap, seperti anak kecil yang menuggu hadiah dari ayahnya. Aku berteriak senang didalam hati karena melihat ekspresi baru di wajah tampan Dimas.

"Uhm..."

Aku sengaja menjeda ucapanku dan berusaha memasang wajah datar sebelum melanjutkannya dengan bahu terangkat acuh seperti yang Dimas lakukan padaku di pesawat tadi.

"Entahlah,"

"Hahahaha, Dimas ditolak!!!"

Suara nyaring laki-laki yang tadi kulihat bersama Dimas diruang tunggu terdengar. Dimas berdecak kesal dan berusaha menghindar karena temannya yang mengenakan jaket maroon menepuk-nepuk punggungnya terus menerus sambil tertawa mengejek. Sedangkan temannya yang mengenakan kaos hitam polos hanya menepuk bahu Dimas sekali sambil menganggukkan kepalanya perihatin sebelum berjalan mendekat ke arah ku.

"Hai, gw Andra dan yang pakai jaket disana itu Rendi. Temannya Dimas, si cowok malang." ucapnya dengan senyum hangat dan tangan terulur saat dihadapanku.

"Adlina." Jawabku sambil membalas senyum dan uluran tangannya.

"Andra!!" Teriak Dimas kesal.

Aku menoleh ke arah Dimas yang menatap ke arah ku dan Andra dengan wajah masam sambil berusaha menjauhkan Rendi yang kini sudah bergelayut manja pada lengannya.

Andra mengacuhkan teriakan Dimas, ia justru mendekat ke arah ku dan berbisik.

"Gw orang kedua yang berani jamin kalau Dimas itu seribu persen jinak."

Aku tersenyum lebar mendengar ucapan Andra, mengangguk dan berkata, "Dimas memang baik. Meskipun ekpresi juteknya nyebelin."

Andra tertawa geli lalu merangkul bahuku.

"ANDRA!! JANGAN PEGANG-PEGANG DIA!!!"

Aku tersentak mendengar teriakan Dimas yang benar-benar nyaring. Bahkan beberapa orang disekitar kami menoleh dan tersenyum geli. Aku agak menunduk malu, sedangkan Andra malah menoleh dan menjulurkan lidahnya jahil pada Dimas.

"Ayo jalan. Kita susul Yana sama Angga. Biarin aja duo homo dibelakang itu." ucap Andra.

"Aku senang kenal kalian semua. Kalian lucu, tapi.. uhm.. agak malu-maluin." Ucap ku jujur yang dibalas dengan kekehan Andra.

"Kalau begitu siapin diri untuk lebih malu lagi setelah ini."

Aku mendongak menatap Andra yang kembali menampilkan senyum jahilnya. Tapi tak dipungkiri kalau di dalam hati ku ada rasa bahagia yang membuncah karena bisa mengenal mereka bertiga. Rasa penasaran tentang bagaimana jadinya liburanku kali ini juga tak mampu menahan senyuman lebar di bibirku.

*end*

180113
Siska Damast
⚘⚘⚘

Selasa, 27 Maret 2018

Takut

Rasanya takut..
Benar-benar takut..

Entah untuk apa..
Entah karena apa..

Tapi aku benar-benar merasa takut..

Tak bisa mengatakannya..
Karena aku pun tak tahu pasti..

Takut..
Aku takut..

Tolong aku..

⚘⚘⚘
180327

Kamis, 08 Maret 2018

Gagal

Sekali lagi aku tahu
Kegagalan itu nyata
Meski harus menunggu waktu 

Dan sekali lagi aku tahu
Kata menyerah harus musnah
Meski melakukannya tak pernah mudah


⚘⚘⚘
170823

Kamis, 08 Februari 2018

Coba Baca dan Renungkan

http://style.tribunnews.com/amp/2018/01/11/sehari-sebelum-meninggal-perempuan-27-tahun-ini-menulis-surat-yang-bikin-nangis-ubah-hidupmu

👆 baca surat perempuan diatas ini benar-benar membuat saya berfikir lagi tentang kehidupan yang telah dan akan saya lalui.

⚘⚘⚘

Selasa, 23 Januari 2018

Wanita Penghuni Lantai Empat

"Laila, lo udah dengar belum cerita senior tentang LDK tahun lalu?" Tanya Sinta yang baru saja datang dan menaruh pantatnya diatas kursi kosong yang berada disamping Laila.

Laila yang tadi sedang asyik mencorat coret buku gambarnya langsung menghentikan kegiatannya dan mengalihkan perhatiannya pada Sinta.

"Cerita apa deh?" Tanyanya penasaran.

"Lo tau kan tentang gosip cewek penghuni kamar mandi cowok di lantai 4 itu?" Tanya Sinta yang dibalas dengan anggukan kepala Laila.

"Tadi gw ketemu sama Kak Anis. Terus dia cerita gitu, katanya tahun lalu dia pernah liat itu cewek. Awalnya dia juga nggak percaya sama gosip itu, soalnya dia memang nggak terlalu percaya sama hal-hal begituan. Tapi pas jerit malam LDK ekskul, dia ngeliat langsung. Katanya mukanya itu cewek serem banget. Kak Anis malah sampai sakit seminggu abis liat dia."

Sinta menceritakannya dengan wajah bergidik ngeri, kemudian ia memperlihatkan tangannya pada Laila sambil mengucapkan, "Tuh, liat deh, gw sampai merinding lagi kan."

"Lebay lo! Palingan juga cuma khayalannya Kak Anis doang kali. Iya kali setan-setan itu mau ngasih liat pas lagi rame " ucap Laila santai.

"Hush! Lo ngomong ngasal aja sih. Nanti malam kalau dikasih liat sama itu cewek baru nangis-nangis lo!" Ucap Sinta, tangannya memukul pelan lengan Laila.

Laila hanya menjulurkan lidahnya jahil pada Sinta lalu kembali berkutat dengan buku gambarnya yang tadi terhenti karena kedatangan Sinta.

***


Laila duduk dengan wajah masam. Ia sebal karena malam itu, seharusnya ia bisa satu kelompok dengan Sinta. Tapi tiba-tiba saja salah satu senior menukarnya masuk ke kelompok delapan.


Kelompok yang berisi anak perempuan semua dan juga kelompok terakhir yang akan jalan untuk acara jerit malam. Seakan melengkapi kesuraman wajah Laila, seluruh anggota kelompoknya itu terkenal sekali penakut!


Laila menghela napas panjang dan berat untuk kesekian kalinya saat matanya menatap kelompok empat yang baru saja diminta untuk mulai jalan menuju pos satu yang berada di lantai satu, tepat dibelakang aula.


Matanya berputar melihat ke sekeliling sekolahnya yang gelap gulita karena seluruh lampu sengaja dimatikan khusus untuk acara puncak malam itu.


"La, nanti lo yang jalan paling belakang ya. Gw takut," ucap Dina setengah berbisik pada Laila.


"Iya," jawab Laila setengah hati dan mengutuki temannya satu itu yang memang paling penakut diantara yang lain.


Laila kembali mengedarkan pandangannya, telinganya bisa mendengar beberapa teriakan marah dari senior-senior yang berada di lantai atas. Ia tak tahu apa yang sedang mereka lakukan disana, tapi Laila yakin ia harus menyiapkan mental untuk menghadapi senior-seniornya disana.


***


Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya kelompok mereka diminta untuk mulai berjalan ke arah pos satu. Kelompoknya hanya diberikan dua senter kecil dengan penerangan yang benar-benar minim.


Laila mengutuk seniornya sekali lagi karena kelompok sebelumnya diberikan senter besar hingga tiga buah.


Kelompoknya berhasil melewati pos satu sampai dengan pos empat tanpa hambatan berarti. Meskipun tadi mereka sempat berhenti karena terkejut dan ketakutan mendengar suara benda jatuh dari ruang laboratorium kimia, saat ingin menuju pos empat yang terletak di kelas XI Ipa 1, ruangan paling pojok.


Kini mereka sedang melangkah naik ke lantai 4, lantai paling atas dan juga terkenal paling angker seantero sekolah. Karena seluruh ruangan di lantai 4 pernah tidak digunakan selama dua semester penuh dan ditutup. Laila sendiri kurang tahu pasti alasan penutupan itu, karena banyak berita macam-macam yang beredar dan malah membuatnya jadi pusing sendiri mau mempercayai yang mana.


Laila merasakan hawa dingin menyergap tubuhnya saat kakinya menapaki lantai 4. Meski ia masih bisa mendengar beberapa suara teriakan senior lain dari lantai bawah, tapi suasana di lantai 4 itu begitu tenang dan cenderung sunyi. Ditambah lagi dengan kegelapan yang lebih pekat, semakin membuat bulu kuduknya meremang.


Pos terakhir berada di ruang kelas X-7. Kelas kedua dari kamar mandi laki-laki yang berada di pojok samping tangga.


Laila meringis saat tangannya digenggam erat oleh Dina yang berjalan tepat didepannya, saat mereka melewati ruang BP. Mereka memang diminta untuk jalan sambil bergandengan tangan, dengan alasan kekompakan.


"Din, jangan kencang-kencang dong. Tangan gw sakit," ucap Laila pelan.


"Sorry, La. Gw takut. Lo ngerasa nggak sih hawanya disini beda?"


"Cuma perasaan lo aja, Din. Udah jalan aja terus, jangan mikir macam-macam. Jangan bikin yang lain jadi takut juga. Bentar lagi kan sampai di pos terakhir."


Memang benar, tak sampai sepuluh menit, mereka sampai di depan kelas X-7 . Sudah ada dua orang senior yang menunggu mereka di depan kelas.


Setelah Laila dan kelompoknya menyebutkan sandi yang diminta, mereka diminta masuk ke dalam kelas. Disana sudah ada tiga orang senior lain yang menatap mereka dengan wajah jutek.


Saat senior mereka sedang berbicara, Laila yang memang sedang disuruh menundukkan kepala, melihat ke sudut kirinya.


Tepat di samping lemari, ia melihat kain putih yang agak berkibar terkena angin melayang. Tadinya ia fikir itu kain yang digunakan sebagai taplak meja guru. Tapi saat kain itu bergerak semakin mendekat ke arahnya, Laila mulai merasakan hawa dingin yang kuat merayapi setiap kulitnya.


Degup jantungnya berdebar kencang, sementara keringat dingin mulai muncul. Laila semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam. Berusaha sekuat mungkin untuk tak berteriak atau menatap terus ke arah kain itu.


Usahanya sia-sia saat matanya kembali menatap kain putih itu berada dua langkah di sebelah kiri tempatnya berdiri.


Laila hampir menjerit saat sebuah tangan menepuk pelan bahu kanannya.


"Jangan di perhatikan. Fokus terus sama apa yang dibilang senior di depan,"


Suara berat salah satu senior laki-laki yang sangat dikenalnya terdengar lembut. Membuat Laila menganggukkan kepalanya kaku sambil menghela napas berat dan juga lega. Ia sedikit tenang karena seniornya itu tak beranjak dari tempatnya yang berdiri cukup dekat di samping kanannya.


Laila sendiri berusaha keras untuk menahan matanya tetap memandang ke arah lain, selain kain putih itu. Ia sempat melirik ke arah senior di dekatnya itu, tapi yang terlihat hanya pundak dan leher seniornya saja, karena memang seniornya itu cukup tinggi dibanding dengan dirinya.


Entah sudah berapa lama mereka berada disana, Laila tak bisa lagi menghitungnya. Bahkan sedari tadi pandangannya benar-benar hanya berfokus pada satu titik.


Ia merasa benar-benar beruntung karena senior laki-laki itu terus berdiri didekatnya. Bahkan senior lain yang sedang berbicara di depan tak ada satupun yang bertanya atau menegurnya.


Laila lagi-lagi mengucap syukur saat kelompok mereka diminta untuk turun. Kembali ke lapangan, bergabung dengan kelompok lain yang sudah ada disana.


Tapi sepertinya keberuntungan Laila berhenti sampai disana. Karena matanya harus melihat pemandangan yang cukup menyeramkan dibandingkan di kelas tadi.


Sosok wanita yang mengenakan pakaian putih panjang, dengan rambut hitam sepinggang dan berantakan, berdiri tepat disamping tangga.


Wajahnya memang terlihat normal, bukan wajah rusak berdarah-darah atau dengan lingkaran hitam besar di sekitar matanya seperti yang sering digambarkan di film-film horor.


Tapi tatapan matanya yang begitu tajam dan menusuk, serta kulit putih pucatnya membuat Laila seakan kehilangan kemampuan bernafasnya mendadak.


Wanita itu terus menatap lurus ke arah Laila dengan sorot mata yang tak berubah sedikitpun. Tangan Laila yang menggandeng tangan Dina sontak mengerat disana. Ia menunduk dalam dan menolehkan kepalanya ke arah kiri saat mereka berjalan untuk menuruni tangga. Laila berusaha keras tak menengok ke arah wanita itu yang berdiri hanya 30 centi darinya disebelah kanan.


Laila ingin sekali berteriak ketika melihat kain putih melayang milik sosok wanita itu terus mengikuti langkahnya. Tapi suaranya seakan menghilang begitu saja.


Keringat dingin semakin mengucur deras di pelipis dan tubuhnya. Tangannya yang bebas menggenggam erat pergelangan tangannya sendiri yang bergandengan dengan tangan Dina. Dalam hati Laila terus berdoa agar mereka cepat sampai di lantai bawah dan segera bergabung dengan kelompok lainnya.


Doa Laila terkabul saat mendengar suara salah satu temannya yang mengajak mereka setengah berlari menuruni tangga.


Laila berusaha sekuat tenaga untuk terus melangkahkan kakinya yang begitu lemas untuk menuruni tangga secepat mungkin. Ia menghela napas kuat-kuat saat mereka sampai di lapangan.


Tapi bodohnya, matanya kembali berputar untuk melihat ke arah tangga. Dan disana... Laila melihat sosok wanita itu, masih berdiri sambil menatap lurus ke manik matanya.


Sedetik kemudian, wanita itu menyeringai padanya. Lalu tubuhnya melayang terbang ke lantai paling atas diiringi dengan suara tawa yang melengking.


Laila tak tahu lagi apa yang terjadi pada dirinya. Yang bisa ia ingat sebelum kegelapan menyelimutinya, hanya suara teriakan beberapa senior dan teman-teman di dekatnya yang memanggil namanya khawatir.


*** end ***


By. Siska Damast
161004
🌹🌹🌹

Cerita 'WANITA PENGHUNI LANTAI EMPAT' ini ssk share disini juga...
👉 @damastsiska (wattpad)
👉 siskadamast.wordpress.com
👉 siskadamast.livejournal.com

Jumat, 19 Januari 2018

Harapan Terbaik

Harapan terbaik
Akan keindahan dunia kecil
Yang penuh akan canda tawa
Juga cinta dan kasih sayang berlimpah 

Datanglah..
Dan menetaplah..
Bertahan bersama untuk
Warna indah dunia kecil kita 

⚘⚘⚘
170820
Siska Damast


Kamis, 23 November 2017

Dia

Dia ada.. tapi tak ku kenal 
Dia ada.. tapi tak ku suka 
Dia ada.. tapi bukan dunia ku 
Dia hanya ada.. tapi tak pernah nyata 

Karena bagi dia.. 
Aku pun tak terlihat 
Seperti bayangan hitam 
Yang ada di sekitarnya 

Entah bagaimana 
Mereka mengatakan itu 
Mencoba menyatukan kami 
Hal bodoh yang tak kan pernah nyata 

Hanya itu yang dapat ku mengerti 
Aku.. dan juga dia.. 
Tak akan menjadi kami.. 
Karena benang merah itu tak pernah ada 

Mendengar yang mereka bicarakan 
Melihat apa yang mereka lakukan 
Merasa apa yang mereka ciptakan 
Dan mencoba memahami semua itu 

Menjadi begitu menyesakkan hati 
Dan terasa semakin sesak 
Seiring detik waktu yang berjalan 

⚘⚘⚘

170717
Siska Damast