Selasa, 23 Januari 2018

Wanita Penghuni Lantai Empat

"Laila, lo udah dengar belum cerita senior tentang LDK tahun lalu?" Tanya Sinta yang baru saja datang dan menaruh pantatnya diatas kursi kosong yang berada disamping Laila.

Laila yang tadi sedang asyik mencorat coret buku gambarnya langsung menghentikan kegiatannya dan mengalihkan perhatiannya pada Sinta.

"Cerita apa deh?" Tanyanya penasaran.

"Lo tau kan tentang gosip cewek penghuni kamar mandi cowok di lantai 4 itu?" Tanya Sinta yang dibalas dengan anggukan kepala Laila.

"Tadi gw ketemu sama Kak Anis. Terus dia cerita gitu, katanya tahun lalu dia pernah liat itu cewek. Awalnya dia juga nggak percaya sama gosip itu, soalnya dia memang nggak terlalu percaya sama hal-hal begituan. Tapi pas jerit malam LDK ekskul, dia ngeliat langsung. Katanya mukanya itu cewek serem banget. Kak Anis malah sampai sakit seminggu abis liat dia."

Sinta menceritakannya dengan wajah bergidik ngeri, kemudian ia memperlihatkan tangannya pada Laila sambil mengucapkan, "Tuh, liat deh, gw sampai merinding lagi kan."

"Lebay lo! Palingan juga cuma khayalannya Kak Anis doang kali. Iya kali setan-setan itu mau ngasih liat pas lagi rame " ucap Laila santai.

"Hush! Lo ngomong ngasal aja sih. Nanti malam kalau dikasih liat sama itu cewek baru nangis-nangis lo!" Ucap Sinta, tangannya memukul pelan lengan Laila.

Laila hanya menjulurkan lidahnya jahil pada Sinta lalu kembali berkutat dengan buku gambarnya yang tadi terhenti karena kedatangan Sinta.

***


Laila duduk dengan wajah masam. Ia sebal karena malam itu, seharusnya ia bisa satu kelompok dengan Sinta. Tapi tiba-tiba saja salah satu senior menukarnya masuk ke kelompok delapan.


Kelompok yang berisi anak perempuan semua dan juga kelompok terakhir yang akan jalan untuk acara jerit malam. Seakan melengkapi kesuraman wajah Laila, seluruh anggota kelompoknya itu terkenal sekali penakut!


Laila menghela napas panjang dan berat untuk kesekian kalinya saat matanya menatap kelompok empat yang baru saja diminta untuk mulai jalan menuju pos satu yang berada di lantai satu, tepat dibelakang aula.


Matanya berputar melihat ke sekeliling sekolahnya yang gelap gulita karena seluruh lampu sengaja dimatikan khusus untuk acara puncak malam itu.


"La, nanti lo yang jalan paling belakang ya. Gw takut," ucap Dina setengah berbisik pada Laila.


"Iya," jawab Laila setengah hati dan mengutuki temannya satu itu yang memang paling penakut diantara yang lain.


Laila kembali mengedarkan pandangannya, telinganya bisa mendengar beberapa teriakan marah dari senior-senior yang berada di lantai atas. Ia tak tahu apa yang sedang mereka lakukan disana, tapi Laila yakin ia harus menyiapkan mental untuk menghadapi senior-seniornya disana.


***


Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya kelompok mereka diminta untuk mulai berjalan ke arah pos satu. Kelompoknya hanya diberikan dua senter kecil dengan penerangan yang benar-benar minim.


Laila mengutuk seniornya sekali lagi karena kelompok sebelumnya diberikan senter besar hingga tiga buah.


Kelompoknya berhasil melewati pos satu sampai dengan pos empat tanpa hambatan berarti. Meskipun tadi mereka sempat berhenti karena terkejut dan ketakutan mendengar suara benda jatuh dari ruang laboratorium kimia, saat ingin menuju pos empat yang terletak di kelas XI Ipa 1, ruangan paling pojok.


Kini mereka sedang melangkah naik ke lantai 4, lantai paling atas dan juga terkenal paling angker seantero sekolah. Karena seluruh ruangan di lantai 4 pernah tidak digunakan selama dua semester penuh dan ditutup. Laila sendiri kurang tahu pasti alasan penutupan itu, karena banyak berita macam-macam yang beredar dan malah membuatnya jadi pusing sendiri mau mempercayai yang mana.


Laila merasakan hawa dingin menyergap tubuhnya saat kakinya menapaki lantai 4. Meski ia masih bisa mendengar beberapa suara teriakan senior lain dari lantai bawah, tapi suasana di lantai 4 itu begitu tenang dan cenderung sunyi. Ditambah lagi dengan kegelapan yang lebih pekat, semakin membuat bulu kuduknya meremang.


Pos terakhir berada di ruang kelas X-7. Kelas kedua dari kamar mandi laki-laki yang berada di pojok samping tangga.


Laila meringis saat tangannya digenggam erat oleh Dina yang berjalan tepat didepannya, saat mereka melewati ruang BP. Mereka memang diminta untuk jalan sambil bergandengan tangan, dengan alasan kekompakan.


"Din, jangan kencang-kencang dong. Tangan gw sakit," ucap Laila pelan.


"Sorry, La. Gw takut. Lo ngerasa nggak sih hawanya disini beda?"


"Cuma perasaan lo aja, Din. Udah jalan aja terus, jangan mikir macam-macam. Jangan bikin yang lain jadi takut juga. Bentar lagi kan sampai di pos terakhir."


Memang benar, tak sampai sepuluh menit, mereka sampai di depan kelas X-7 . Sudah ada dua orang senior yang menunggu mereka di depan kelas.


Setelah Laila dan kelompoknya menyebutkan sandi yang diminta, mereka diminta masuk ke dalam kelas. Disana sudah ada tiga orang senior lain yang menatap mereka dengan wajah jutek.


Saat senior mereka sedang berbicara, Laila yang memang sedang disuruh menundukkan kepala, melihat ke sudut kirinya.


Tepat di samping lemari, ia melihat kain putih yang agak berkibar terkena angin melayang. Tadinya ia fikir itu kain yang digunakan sebagai taplak meja guru. Tapi saat kain itu bergerak semakin mendekat ke arahnya, Laila mulai merasakan hawa dingin yang kuat merayapi setiap kulitnya.


Degup jantungnya berdebar kencang, sementara keringat dingin mulai muncul. Laila semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam. Berusaha sekuat mungkin untuk tak berteriak atau menatap terus ke arah kain itu.


Usahanya sia-sia saat matanya kembali menatap kain putih itu berada dua langkah di sebelah kiri tempatnya berdiri.


Laila hampir menjerit saat sebuah tangan menepuk pelan bahu kanannya.


"Jangan di perhatikan. Fokus terus sama apa yang dibilang senior di depan,"


Suara berat salah satu senior laki-laki yang sangat dikenalnya terdengar lembut. Membuat Laila menganggukkan kepalanya kaku sambil menghela napas berat dan juga lega. Ia sedikit tenang karena seniornya itu tak beranjak dari tempatnya yang berdiri cukup dekat di samping kanannya.


Laila sendiri berusaha keras untuk menahan matanya tetap memandang ke arah lain, selain kain putih itu. Ia sempat melirik ke arah senior di dekatnya itu, tapi yang terlihat hanya pundak dan leher seniornya saja, karena memang seniornya itu cukup tinggi dibanding dengan dirinya.


Entah sudah berapa lama mereka berada disana, Laila tak bisa lagi menghitungnya. Bahkan sedari tadi pandangannya benar-benar hanya berfokus pada satu titik.


Ia merasa benar-benar beruntung karena senior laki-laki itu terus berdiri didekatnya. Bahkan senior lain yang sedang berbicara di depan tak ada satupun yang bertanya atau menegurnya.


Laila lagi-lagi mengucap syukur saat kelompok mereka diminta untuk turun. Kembali ke lapangan, bergabung dengan kelompok lain yang sudah ada disana.


Tapi sepertinya keberuntungan Laila berhenti sampai disana. Karena matanya harus melihat pemandangan yang cukup menyeramkan dibandingkan di kelas tadi.


Sosok wanita yang mengenakan pakaian putih panjang, dengan rambut hitam sepinggang dan berantakan, berdiri tepat disamping tangga.


Wajahnya memang terlihat normal, bukan wajah rusak berdarah-darah atau dengan lingkaran hitam besar di sekitar matanya seperti yang sering digambarkan di film-film horor.


Tapi tatapan matanya yang begitu tajam dan menusuk, serta kulit putih pucatnya membuat Laila seakan kehilangan kemampuan bernafasnya mendadak.


Wanita itu terus menatap lurus ke arah Laila dengan sorot mata yang tak berubah sedikitpun. Tangan Laila yang menggandeng tangan Dina sontak mengerat disana. Ia menunduk dalam dan menolehkan kepalanya ke arah kiri saat mereka berjalan untuk menuruni tangga. Laila berusaha keras tak menengok ke arah wanita itu yang berdiri hanya 30 centi darinya disebelah kanan.


Laila ingin sekali berteriak ketika melihat kain putih melayang milik sosok wanita itu terus mengikuti langkahnya. Tapi suaranya seakan menghilang begitu saja.


Keringat dingin semakin mengucur deras di pelipis dan tubuhnya. Tangannya yang bebas menggenggam erat pergelangan tangannya sendiri yang bergandengan dengan tangan Dina. Dalam hati Laila terus berdoa agar mereka cepat sampai di lantai bawah dan segera bergabung dengan kelompok lainnya.


Doa Laila terkabul saat mendengar suara salah satu temannya yang mengajak mereka setengah berlari menuruni tangga.


Laila berusaha sekuat tenaga untuk terus melangkahkan kakinya yang begitu lemas untuk menuruni tangga secepat mungkin. Ia menghela napas kuat-kuat saat mereka sampai di lapangan.


Tapi bodohnya, matanya kembali berputar untuk melihat ke arah tangga. Dan disana... Laila melihat sosok wanita itu, masih berdiri sambil menatap lurus ke manik matanya.


Sedetik kemudian, wanita itu menyeringai padanya. Lalu tubuhnya melayang terbang ke lantai paling atas diiringi dengan suara tawa yang melengking.


Laila tak tahu lagi apa yang terjadi pada dirinya. Yang bisa ia ingat sebelum kegelapan menyelimutinya, hanya suara teriakan beberapa senior dan teman-teman di dekatnya yang memanggil namanya khawatir.


*** end ***


By. Siska Damast
161004
🌹🌹🌹

Cerita 'WANITA PENGHUNI LANTAI EMPAT' ini ssk share disini juga...
👉 @damastsiska (wattpad)
👉 siskadamast.wordpress.com
👉 siskadamast.livejournal.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar