Selasa, 09 Agustus 2016

Love You... Always

Yara menatap foto di tangannya dengan mata berbinar. Jantungnya berdetak tak karuan, sampai ia dapat mendengar jelas di telinganya sendiri.

Ia masih tak percaya kalau akhirnya Tuhan menitipkan keturunan kepada dirinya setelah dua tahun terus menunggu. Senyum di bibirnya tak pernah pudar sejak ia dinyatakan hamil tadi.

Yara yakin kalau berita kehamilannya ini pasti akan menjadi kejutan besar untuk kepulangan suaminya nanti malam. Ia juga berharap dengan berita bahagia ini, hubungan mereka yang sempat renggang beberapa minggu terakhir bisa terkikis.

Suara dering ponsel milik Yara yang mengalunkan nada piano milik Yiruma terdengar. Ia segera mengangkat panggilan masuk tersebut saat melihat nama suaminya terpampang di layar ponselnya.

"Halo?"

"Kamu dimana?" Suara Ezar terdengar datar di seberang sana. Tapi Yara tak terlalu memperhatikan, masih terlalu bahagia dengan berita kehamilannya.

"Aku di rumah. Kamu nanti sampai jam berapa mas?"

"Aku nggak jadi pulang malam ini."

Senyum Yara menghilang dalam hitungan detik mendengar ucapan Ezra. Hatinya lagi-lagi serasa di remas oleh tangan tak kasat mata di dalam sana. Apalagi nada datar suaminya kini terdengar jelas di telinga Yara.

"Yara! Kamu dengar aku kan?"

Nada tinggi suaminya menyentakkan Yara dari lamunannya. Air mata luruh begitu saja tanpa bisa dicegah olehnya.

"Iya.." lirih Yara. Matanya menatap lagi foto di tangannya yang kabur tertutup bulir air matanya.

"Oke. Aku tutup teleponnya."

Yara baru saja ingin bicara, tapi Ezra langsung memutus panggilan begitu saja. Hal itu membuat Yara menatap tak percaya ke arah ponselnya yang menampilkan fotonya bersama dengan Ezra.

'Apa nanti kamu akan senang dengar berita ini, mas?' Gumamnya dalam hati.

Yara segera memasukkan foto janinnya itu ke dalam amplop cokelat, lalu ditaruh asal ke atas nakas berwarna putih yang berada disampingnya.

***


"Kenapa lagi lo sama dia?"

"Huh?!"

"Gw udah terlalu bosen liat tampang lecek lo itu, Ra."

Nada rendah yang digunakan Nesya, sahabatnya, berhasil membuat Yara menatapnya.

"Kenapa, Sya?" Tanya Yara dengan wajah bingung.

"Kenapa sama suami lo?"

"Kenapa sama dia?"

Bukannya menjawab, Yara justru melempar pertanyaan balik pada Nesya dan itu membuat Nesya sebal.

"Ck! Cerita sekarang juga atau gw satronin suami lo itu detik ini juga!" Ancamnya sambil menaruh ponsel miliknya diatas meja.

Yara diam beberapa detik, lalu mendesah putus asa.

"Dia nggak jadi pulang malam ini." Ucapnya pelan.

Nesya melebarkan matanya tak percaya dengan jawaban wanita yang memiliki pipi chubby di depannya itu.

"Bukannya biasa?" Tanyanya masih sedikit syok.

Yara menggeleng lemah, lalu berkata, "Ezra nggak pernah ngundur jadwal pulangnya tanpa alasan."

"Ya ampun.. bisa aja dia lagi ada kerjaan penting yang mendadak kan, Ra.. Udah, jangan terlalu dipikirin, nanti lo malah netting jadinya."

"Hm.. mungkin aja.. tapi..." Yara tak menyelesaikan ucapannya. Ia malah memilih untuk memainkan makanan di depannya.

"Udah ah, jangan mikir macam-macam. Mending lo abisin deh makanannya. Inget, sekarang ada baby lo yang harus lo jaga juga, Ra." Ucap Nesya dengan telunjuk terarah ke perut Yara yang masih rata.

Yara tidak membalas ucapan Nesya. Ia justru menghela napas berat sambil terus mengaduk makanannya dengan tatapan sendu.

"Uhm.. atau lo mau nonton?" Tanya Nesya, berusaha mengalihkan pikiran buruk Yara dengan aktivitas kesukaannya.

"Memang ada film bagus?"

Nesya tersenyum mendengar respon Yara.

"Mau coba liat?" Tawarnya dengan wajah jenaka dan menaik turunkan alisnya.

Yara berfikir sebentar lalu mengangguk mantap sambil berkata dengan riang, "Ayo!"


***


Yara merasakan seseorang bergerak didekatnya. Ia ingin bangun dari tidurnya, tapi matanya terasa begitu berat. Samar Yara mendengar suara suaminya membisikkan sesuatu di telinganya. Tapi ia tak yakin mendengarnya karena kesadarannya kembali menghilang.

***


Krriiinngg!!!

Bunyi alarm menggema ke sudut kamar, membuat Yara terbangun dari tidur nyenyaknya. Matanya perlahan terbuka, menyesuaikan cahaya yang masuk dari celah jendela.

Kepalanya terasa pusing dan mual yang teramat sangat langsung menderanya. Setengah berlari Yara langsung membungkuk di depan wastafel, mengeluarkan seluruh isi perutnya.

Tangis Yara pecah setelahnya. Apalagi mengingat suaminya tak ada di dekatnya saat itu. Ia ingin sekali memeluk Ezra detik itu juga.

Semalam ponsel Ezra tidak aktif. Yara terus mencoba menghubunginya sampai akhirnya ia tertidur hingga pagi.

Bip bip bip.. cklek !

Suara pintu apartement-nya yang dibuka terdengar, membuat Yara segera menghapus kasar air matanya dan melangkah tergesa keluar kamar.

"Mas?"

Sambil menggumamkan kata itu, Yara langsung berlari menubruk suaminya dan memeluknya erat.

Beruntung Ezra masih bisa menjaga keseimbangannya, meski ia harus mundur selangkah saat tubuh Yara menabraknya tiba-tiba.

"Aku masih kotor, Yara." Ucap Ezra datar sambil melepas pelukan Yara.

Yara mau tak mau harus melepas pelukannya. Ia ingin protes tapi ditahannya saat melihat wajah acuh suaminya yang berlalu begitu saja ke arah kulkas untuk mengambil minum.

Tak ingin terlihat sedih, Yara memilih untuk memindahkan koper Ezra ke dalam kamar.

"Jangan pegang itu!!"

Yara berjengit kaget mendengar suara tinggi Ezra yang membentaknya dari depan kulkas. Lalu buru-buru berjalan ke arahnya dan menarik paksa koper miliknya dari tangan Yara.

"Aku bisa bawa sendiri. Kamu nggak perlu repot." Ucapnya sebelum meninggalkan Yara yang tercenung di tempatnya atas sikap dingin Ezra.

***


"Mas kamu mau makan? Aku siapin ya?" Tanya Yara dari depan pintu kamar.

Ezra yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan menggunakan celana training selutut hanya menatapnya.

Pandangannya justru beralih pada amplop cokelat yang kemarin Yara taruh sembarang di atas nakas.

"Itu apa?" Tanya Ezra sambil berjalan ingin mengambil amplop tersebut.

Yara yang melihat itu langsung menarik amplop cokelat tersebut lebih dulu sebelum Ezra berhasil mengambilnya.

"Kenapa kamu sembunyiin?" Tanya Ezra dengan kening mengerut.

"Ng..nggak.. I..ini.. I..ni.. nas..kah A..aku.." jawab Yara gugup sambil menyembunyikan amplop itu dibelakang tubuhnya.

Ezra baru saja ingin mendekat ke arah Yara untuk memaksa melihat isi amplop itu saat ponselnya berdering. Yara langsung menghela napas lega melihat Ezra memilih untuk mengangkat panggilan teleponnya.

"Iya, ada apa?"

".........."

"Sekarang?" Ezra mengatakannya sambil melirik ke arah Yara sekilas.

".........."

"Oke. Nanti ak..."

".........."

Ezra yang melihat Yara berusaha mencuri dengar pembicaraannya segera melangkah keluar kamar. Yara masih sempat mendengar suaminya itu menyebut samar nama Talita sebelum pintu kamarnya ditutup Ezra.

***


Yara terus membolak balik novel ditangannya. Tapi pikirannya melayang kemana-mana. Bosan, ia memilih untuk menunggu Ezra di ruang tengah sambil menonton televisi.

Tadi suaminya itu langsung pergi setelah menerima telepon. Yara sempat bertanya tapi Ezra hanya menjawab kalau ia hanya pergi sebentar dan buru-buru keluar rumah.

Kini, jam sudah menunjuk pukul sebelas lebih lima belas dan suaminya itu masih belum pulang juga. Ponselnya pun lagi-lagi tak bisa dihubungi.

Yara menarik napas panjang, lalu mencoba untuk memfokuskan pikirannya pada acara yang sedang ditayangkan. Ia mencoba mengusir pikiran negatif yang mulai berdesakan.

Sejam berlalu begitu saja dan Ezra masih belum juga pulang. Yara mulai cemas, pikiran negatifnya perlahan menguasai dirinya.

Ia baru saja berdiri dari tempat duduknya untuk mengambil ponselnya dikamar saat suara pintu depan terdengar dibuka. 

"Kamu belum tidur?" Tanya Ezra terkejut saat melihat Yara di ruang tengah.

"Kamu baru pulang mas? Dari mana? Tumben sampai larut begini.." ucap Yara. Jelas sekali kekhawatirannya terdengar disana.

"Iya, aku ada urusan." Jawab Ezra singkat sambil melepas jaketnya.

"Kamu udah makan? Mau aku siapin maka..."

"Nggak usah. Mending kamu tidur." Ezra menjawabnya lagi-lagi dengan nada datar dan tanpa menatap Yara.

"Iya.. nanti ak..."

"Tidur sekarang!" Perintah Ezra. Kini ia menatap Yara, tapi bukan tatapan lembut seperti biasa. Hanya tatapan dingin dan sebal.

Yara tak menjawab atau membalas ucapan Ezra. Ia hanya berjalan ke arah dapur.

Ezra menatap gerak gerik Yara tajam dan tak beranjak dari tempatnya sedikitpun.

Setelah mengambil sebotol minuman, Yara kembali ke ruang tengah. Ia baru saja ingin duduk saat Ezra dengan kasar mematikan televisi.

"Tidur sekarang, Yara." Ucap Ezra dengan nada rendah.

Yara menatap lurus ke arah Ezra dengan mata berkaca-kaca. Tapi Ezra hanya membalasnya dengan wajah datarnya.

Tak tahan melihat wajah datar Ezra itu, Yara memilih untuk masuk ke dalam kamar. Ia segera naik ke atas ranjang dan tidur miring membelakangi suaminya itu.

Saat Ezra masuk ke dalam kamar mandir, Yara akhirnya meneteskan air matanya. Sebenarnya ia kesal dengan sikap dingin suaminya itu, tapi bukannya marah-marah seperti biasa, ia justru ingin menangis.

Yara harus menggigit bibir bawahnya keras-keras dan berpura-pura tidur saat mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Tak lama ia merasakan gerakan Ezra yang merebahkan tubuhnya disampingnya.

Tapi Yara tak juga merasakan tangan suaminya yang biasa memeluknya itu. Padahal meskipun mereka bertengkar hebat sekalipun, Ezra pasti akan tetap memeluknya saat tidur.

Dan itu semakin membuat Yara menahan keras tangisnya agar tak terdengar. Setidaknya sampai suaminya itu benar-benar terlelap.

***


Yara terbangun saat matahari sudah naik ke permukaan. Matanya menyipit melihat jam menunjukkan pukul sepuluh. Ia yakin suaminya sudah berada di kantor.

Pandangannya berhenti pada note kecil berwarna biru muda yang ditempel pada kaca rias.

Perlahan Yara bangun dan melihat apa yang tertulis disana.

'Jam 2 aku jemput dirumah. Ada makan siang dengan rekan bisnis aku.'

Yara menghela napas berat setelah membaca tulisan berantakan khas suaminya. Ia tak tahu mengapa suaminya itu bahkan tak mau memberitahunya langsung dan hanya meninggalkan selembar note kecil.

Yara menarik note tersebut dan menyimpannya ke dalam buku catatan pribadinya. Lalu ia segera menyelesaikan pekerjaan rumah karena ia diminta datang untuk mengurus beberapa hal untuk naskah terbarunya ke kantor penerbit.

***


"Makasih tanda tangannya ya mba Yara. Aku tunggu novel selanjutnya ya mba.." Ucap Maya, salah seorang resepsionis disana yang baru saja meminta tanda tangan Yara khusus untuk koleksi novel pribadinya.

Yara melempar senyum terima kasih lalu segera menaiki taksi yang telah dipesannya setelah pamit pada Maya.

Yara mengangkat ponselnya yang terasa bergetar di tasnya.

"YARA!! LO DIMANA SEKARANG?!!"

Suara menggelegar milik Nesya langsung menyambut telinga Yara.

"Gw lagi di jalan, Sya. Abis dari kantor. Ada apa?" Tanya Yara tenang.

"Gw di depan apartement lo sekarang. Buruan lo pulang."

"Lo di rumah gw?" Tanya Yara tak percaya.

"Uhm, sekarang sih gw di cafe depan apartement lo. Abisnya dari tadi gw gedor nggak ada yang buka. Nggak taunya lo ngelayap!"

"Hehe, maaf. Yaudah, 15 menit gw nyampe rumah kok. Sebentar ya.." ucap Yara dengan nada semanis mungkin yang tak mungkin bisa dibantah Nesya.

"Ugh! Iya, hati-hati di jalan!"

***


"Gw nggak tahu kalau lo sama Arga juga ikut." Ucap Yara sambil menaruh gelas minuman di depan Nesya.

"Mungkin Ezra lupa ngasih tau lo." Ucap Nesya tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel ditangannya.

Bip bip bip.. cklek !

Wajah Ezra muncul tak lama kemudian. Ia langsung melangkah mendekati Yara dan mengecup puncak kepalanya seperti biasa.

Hal itu sukses membuat Yara tak percaya. Bagaimana tidak, kemarin jelas sekali sikap suaminya itu begitu dingin padanya.

"Hai, Sya. Arga telat ke sininya. Mau mampir sebentar katanya." Ucap Ezra menyapa Nesya.

Yara akhirnya sadar, suaminya bersikap biasa padanya lagi karena saat itu ada Nesya, sahabatnya. Dan itu membuatnya menghela napas berat diam-diam.

Ting tong

Suara bel terdengar sebelum Nesya sempat menjawab ucapan Ezra. Yara segera berjalan menuju pintu depan.

Matanya menatap bingung melihat seorang wanita cantik berambut panjang bergelombang berdiri di depannya.

"Maaf, apa Ezra nya ada?" Tanya wanita itu dengan suara lembut pada Yara.

"Oh, iya ada. Maaf, anda siapa ya?" Tanya Yara sopan.

"Saya Talita, temannya."

Mendengar nama itu, kepala Yara langsung meledak panas. Ia masih ingat jelas nama yang ia dengar dari mulut suaminya kemarin sebelum ia pergi dan pulang larut.

"Siapa, Ra?"

Suara Ezra terdengar di belakangnya. Membuat Yara dan Talita menatap ke arah Ezra.

Yara sempat melihat ada keterkejutan di mata suaminya saat melihat Talita. Tapi suaminya itu kembali menutupinya dengan senyum.

"Oh, kamu ta.. ayo masuk." Ucap Ezra mempersilakan.

Yara yang tadi masih kaget segera bergeser dari pintu, memberi jalan pada Talita sambil melempar senyum paksa.

Sementara Talita justru langsung masuk begitu saja dan tak mempedulikan Yara. Matanya menatap lurus ke arah Ezra dengan wajah penuh.. Uhm.. cinta (?)

'Siapa dia sebenarnya?' Gumam Yara kesal  dalam hati saat melihat Talita memeluk Ezra tanpa rasa risih dengan keberadaan dirinya disana.

"Oh?! Talita??" Suara Nesya kini terdengar. Matanya menatap tak percaya pada sosok wanita di depannya.

"Nesya?!"

"Ya ampun, Talita!!! Ah, lo kemana aja? Gw kangen tau nggak!" Ucap Nesya girang dan langsung memeluk Talita.

Yara masih diam menatap mereka semua. Hatinya terasa perih saat melihat Ezra menatap ke arah Talita dengan senyum mengembang. Senyum yang selama ini sangat Yara suka. Senyum yang biasanya selalu diberikan suaminya hanya padanya, tapi tak lagi sejak 1 bulan terakhir.

"Ra, kenalin ini Talita. Dia ini dulu teman sd gw. Tapi terus dia pindah, dan gw nggak tau lagi gimana kabarnya dia."

Yara tersentak dari lamunannya mendengar suara Nesya yang memang seperti toak itu. Ia hanya membalas ucapan Nesya dengan senyum tipis.

"Kamu siap-siap, Ra. Agra udah mau sampai. Biar kita langsung berangkat." Ucap Ezra padanya, yang langsung di iyakan oleh Yara.

***


"Hai cantik.." sapa Agra saat melihat Yara.

"Kamu itu, aku nggak pernah dipanggil cantik tapi cewek lain selalu kamu panggil begitu." Gerutu Nesya sebal pada Agra yang hanya ditanggapi dengan gelak tawa.

Mata Yara menatap Ezra yang melempar senyum penuh arti dengan Talita. Dan itu membuat Yara menegang di tempat.

"Ehm! Sakit sayaang.." suara Agra terdengar lagi.

"Kita jalan sekarang?" Tanya Ezra yang masih duduk di dekat Talita.

"Oke. Ayo sayaang.. kamu jangan ngambek terus begitu. Kalau makin cantik nanti aku yang susah.." ucap Agra lalu menggoda Nesya.

"Rasain!" Omel Nesya, tapi tak menolak saat Agra menggandengnya keluar.

"Ayo," ucap Ezra lagi sambil berdiri dan berjalan keluar pintu yang langsung diikuti Talita dibelakangnya.

Sementara Yara masih diam di tempatnya menatap mereka berdua.

"Yara?!"

Suara Ezra dari depan pintu membuyarkan pikiran Yara.

"Iya.." ucapnya dan segera berjalan keluar.

Ia masih sempat melihat senyum sinis yang dilempar Talita padanya. Tapi Ezra tidak dapat melihatnya, karena wanita itu berdiri agak ke belakang di samping suaminya.

Sampai di parkiran, Ezra langsung masuk ke belakang kursi pengemudi. Sementara Nesya dan Agra sudah berada di mobil milik Agra.

Yara baru saja ingin membuka pintu penumpang di samping kursi pengemudi saat Talita buru-buru mendahuluinya dan menutupnya tepat di depan Yara.

Syok, tapi Yara memilih diam dan masuk ke kursi belakang. Hatinya lebih terasa sakit saat Ezra yang melihat hal tersebut justru hanya diam. Seakan suaminya itu tak melihat kejadian barusan.

Yara tak tahan lagi ketika Talita mencondongkan tubuhnya dengan sengaja mendekat ke arah Ezra dengan alasan mengambil tissue yang saat itu berada di depan kemudi.

"Aku ke atas sebentar mas. Ponsel aku ketinggalan." Ucap Yara dengan suara bergetar menahan tangis lalu segera keluar tanpa menunggu balasan Ezra.

Bukan kembali ke apartementnya, Yara justru berlari menjauh ke arah lapangan parkir yang berada di dekat danau yang berada tepat di belakang apartementnya.

Tempat yang biasanya menjadi tempat persembunyiannya saat sedang ingin menulis tanpa gangguan. Bahkan Ezra pun tak pernah tahu kalau ia sering ke sana.

Ponsel di tasnya berdering. Ya, tadi Yara memang berbohong. Ia hanya ingin pergi dari sana dan tak melihat lagi bagaimana kedekatan wanita bernama Talita itu dengan suaminya.

Yara langsung melepas baterai ponselnya saat melihat nama Ezra di layar. Kemudian ia menyarukkannya lagi ke dalam tas dengan kasar dan kembali menangis.

Senja terlihat di ujung danau, menunjukkan sang malam akan segera datang. Tapi Yara masih duduk diam di tempatnya. Meski tangisnya sudah berhenti dua jam yang lalu.

"Jadi karena wanita itu, ayah kamu berubah dingin sama bunda?" Tanya Yara pada janinnya. Tangannya mengusap lembur perutnya yang masih rata.

Lalu hening kembali. Hanya suara cicit burung terdengar dengan hembusan angin sore yang membelai anak rambutnya.

"Ketemu."

Suara berat Ezra terdengar dibarengi dengan pelukan dari balik tubuh Yara. Yara yang sempat terkejut langsung memberontak, minta dilepaskan.

Tapi bukan melepasnya, suaminya itu justru semakin mempererat pelukannya.

"Lepas! Lepasin aku, mas!" Geram Yara di sela tangisnya yang datang lagi.

Ia masih berusaha melepaskan diri dari Ezra. Tapi kemudian menyerah saat Ezra mengatakan, "Never love.." dengan nada lembut yang sangat dikenal Yara. 

Tangisnya justru pecah kembali dan membuat Ezra memutar tubuh Yara dan menarik kepala istrinya itu ke dalam dada bidangnya, kembali memeluknya erat.

"Maaf.. maafin aku, love. Sshhhtt.."

Hanya itu yang terus diucapkan Ezra selama Yara menangis dipelukannya. Tangannya mengusap punggung Yara sambil mengecup puncak kepala Yara, berusaha menenangkan.

***


"Kamu udah tenang?" Tanya Ezra setelah setengah jam Yara terus menangis tanpa henti.

Ia masih bisa merasakan Yara yang sesenggukan didalam pelukannya.

"Maafin aku.. aku sama sekali nggak ada maksud bikin kamu jadi begini," ucapnya lagi.

Ezra sengaja memberi jeda untuk melihat reaksi Yara. Tapi Yara hanya diam, tak merespon sama sekali.

"Kalau kamu sabar sebentar, pasti nggak akan jadi begini. Kamu mau Maafin aku kan?" Tanyanya sambil berusaha melihat wajah Yara.

Yara menggeleng pelan, berusaha menyembunyikan wajahnya di balik dada bidang Ezra. Itu membuat Ezra menghela napas panjang.

"Kamu ingat sama anak perempuannya Om Fahri yang nggak bisa datang ke nikahan kita? Om Fahri sahabatnya Mama dan Tante Dina juga itu,"

Yara diam sejenak lalu mengangguk.

"Ya itu dia anaknya Om Fahri. Talita yang barusan kamu temuin."

Yara mengangkat kepalanya menatap suaminya menyelidik. Wajah kacau Yara yang terlihat menggemaskan membuat Ezra tertawa lalu mencium kedua mata Yara penuh sayang.

"Kamu nangis terus dari tadi, hm?" Tanyanya.

"Jangan alihin pembicaraan," ucap Yara dengan suara serak.

"Aku itu khawatir sama kamu, love. Bukan ngalihin pembicaraan.." jawab Ezra yang dibalas pelototan oleh Yara.

"Iya, iya.. aku lanjutin. Jangan pasang wajah begitu, cantik kamu nanti ilang." Goda Ezra.

Yara yang sebal dengan sikap Ezra, mencubit pinggang suaminya itu.

"Aduh! Baru tiga minggu aku tinggal, kenapa kamu jadi kdrt begini sih, love."

Kesal, Yara berusaha melepas pelukannya dari Ezra yang tentu saja tidak dibiarkan oleh Ezra.

"Aku belum selesai, love. Ck, kamu itu memang kebiasaan nggak sabaran kalau marah.." ucap Ezra lalu menggigit ujung hidung Yara gemas.

"Aku nggak sengaja ketemu Talita disana. Dia lagi liburan sama suami dan anaknya. Suaminya itu ternyata rekan bisnis aku sekarang ini."

Yara baru saja ingin membuka mulutnya, saat Ezra mengecup bibir mungil Yara cepat.

"Aku sengaja nggak hubungin kamu. Karena aku nyiapin kejutan buat kamu." Ucapnya lagi.

"Kamu tahu kan kalau aku paling nggak bisa nyembunyiin sesuatu dari kamu. Makanya aku minta Nesya untuk nemenin kamu terus."

"Tapi pas aku pulang malam itu, justru aku yang dapet kejutan dari kamu."

Yara mengerutkan keningnya mendengar penjelasan Ezra.

"Amplop cokelat?" Tanya Ezra dengan alis dinaikkan sebelah.

"Ka..kamu.." Tanya Yara gugup.

"Iya.. aku tahu dan aku lihat karena aku emang pulang malam itu. Cuma kamu-nya aja yang tidurnya pulas banget. Sampai aku ciumin aja nggak bangun juga."

Yara memukul pelan Ezra yang dibalas dengan pelukan erat oleh Ezra.

"Aku senang banget.. rasanya nggak sabar buat ngasih kamu kejutan besoknya. Sampai aku nggak bisa tidur dan untungnya kamu nggak sadar kalau sebenernya aku udah pulang dari malam."

"Tapi kejutan aku kacau. Tempat yang aku pesan batalin sepihak dan nggak mau tanggung jawab. Akhirnya aku buat persiapan dari awal lagi. Untung Talita punya tempat, jadi aku dibantuin sama dia. Bahkan suaminya Talita, Agra sama Nesya juga bantuin aku buat nyiapin semua kejutan itu sampai selesai." Lanjutnya lagi.

Yara merasa sangat bersalah karena malam itu ia justru curiga dengan suaminya.

"Maaf.."

Ezra menggeleng pelan dan tersenyum. "Aku senang bisa liat kamu yang jarang banget cemburu. Meskipun aku agak kesal karena kamu keras kepala nggak mau tidur. Padahal tidur terlalu malam itu nggak baik buat calon bayi kita,"

"Maaf..." ucap Yara lagi dengan kata yang sama.

"Aku juga minta maaf, love. Aku terlalu bersikap dingin sama kamu. Seharusnya aku nggak ikutin rencananya Talita buat bikin kamu cemburu, dan malah jadi bikin kamu sedih sampai nangis begitu tadi."

Yara mengangguk, semakin membenamkan kepalanya dilekukan leher Ezra. Menghirup aroma khas suaminya disana yang sangat menenangkan.

"Kamu bahagia dengan kehamilan aku?" Tanya Yara agak takut-takut.

"Kata bahagia aja nggak cukup buat jelasin perasaan aku waktu tahu kamu hamil, love."

"Terima kasih.. untuk semua kebahagiaan yang kamu kasih buat aku, love. I love you... always." Ucap Ezra lagi kemudian mengecup kening Yara cukup lama.

Membuat Yara merasakan betapa besarnya cinta suaminya itu padanya. Bodohnya ia tak pernah bisa menahan pikiran negatifnya yang berujung dengan kesalahpahaman dan kekacauan.

"Love you... always." Ucap Yara.

*** end ***


By. Siska Damast
151011
🌹🌹🌹


Tidak ada komentar:

Posting Komentar